TUGAS PEREKONOMIAN INDONESIA
Apakah yang dimaksud dengan swasembada pangan, apakah Bangsa
Indonesia telah mencapainya dan jika belum apakah yang menjadi saran saudara
dalam pencapaian tersebut?
1. PENGERTIAN SWASEMBADA PANGAN
Swasembada pangan berarti kita mampu untuk mengadakan sendiri kebutuhan
pangan dengan bermacam-macam kegiatan yang dapat menghasilkan kebutuhan yang
sesuai diperlukan masyarakat Indonesia dengan kemampuan yang dimilki dan pengetahuan
lebih yang dapat menjalankan kegiatan ekonomi tersebut terutama di bidang
kebutuhan pangan.Yang kita ketahui Negara Indonesia sangat berlimpah dengan
kekayaan sumber daya alam yang harusnya dapat menampung semua kebutuhan pangan
masyarakat Indonesia, salah satu cara yaitu dengan berbagai macam kegiatan
seperti ini :
1.
Pembuatan UU & PP yg berpihak pada petani &
lahan pertanian.
2.
Pengadaan infrastruktur tanaman pangan seperti:
pengadaan daerah irigasi & jaringan irigasi, pencetakan lahan tanaman
pangan khususnya padi, jagung, gandum, kedelai dll serta akses jalan ekonomi
menuju lahan tsb.
3.
Penyuluhan & pengembangan terus menerus utk
meningkatkan produksi, baik pengembangan bibit, obat-obatan, teknologi maupun
sdm petani.
4.
Melakukan diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak
dipaksakan untuk bertumpu pada satu makanan pokok saja (dalam hal ini
padi/nasi), pilihan diversifikasi di indonesia yg paling mungkin adalah sagu,
gandum dan jagung (khususnya Indonesia timur).
Jadi diversifikasi adalah bagian dr program swasembada pangan yg memiliki
pengembangan pilihan/ alternatif lain makanan pokok selain padi/nasi (sebab di
indonesia makanan pokok adalah padi/nasi). Salah satu caranya adalah dengan
sosialisasi ragam menu yang tidak mengharuskan makan nasi seperti yang
mengandung karbohidrat juga seperti nasi yaitu : singkong,ubi,kentang.
2. BERITA MENGENAI PETANI INDONESIA
Pak Tani Itulah Penolong Negeri
Minggu,18 Mei 2014 | 19:29
Sejarah panjang bangsa ini memang di mulai dari pertanian,
pertanian selalu menjadi fenomena utama dari waktu ke waktu. Di era tahun 1997,
ia di junjung dan di sanjung sebagai sektor yang tetap bertahan dan tidak
terpengaruh oleh krisis ekonomi. Ia di puji sebagai sektor yang sangat tangguh
dan penting bagi perekonomian Indonesia, juga dalam perannya sebagai penyedia
pangan dan bahan baku industri serta penyedia lapangan kerja desa. Ironisnya,
puji dan sanjungan yang dialamatkan pada sektor pertanian sangat bertolak
belakang dengan nasib kebanyakan petani. Kehidupan petani layaknya sebuah
lilin, yang menerangi sekelilingnya namun ia sendiri sedikit demi sedikit akan
terbakar habis. Itulah gambaran nasib buruk yang selalu menimpa petani
dari jaman kerajaan dahulu hingga sekarang.
Pada zaman kerajaan dulu, petani dianggap sebagai tenaga kerja murah, bahkan gratis layaknya budak, juga sebagai objek pajak. Misalnya pada zaman Kerajaan Majapahit, di satu pihak raja membebaskan tanah milik komunitas agama dari pajak, pada saat yang sama memungut pajak dan menuntut kerja rodi kepada warga desa. Bagi para petani yang mengurangi produksi pertaniannya, disamakan dengan pencuri yang bisa dihukum mati.
Praktek itu berlangsung hingga masa penjajahan Belanda. Periode cultuurstelsel (tanam paksa) selama 1830-1870 adalah sisi lain lembaran hitam yang menghiasi sejarah kelam petani. Sistem tanam paksa menyebabkan kesengsaraan luar biasa pada rakyat (para petani) di Pulau Jawa. Demikian pula pada jaman Jepang, meskipun tidak lama, tapi deritanya mendalam. Petani dipaksa untuk menyerahkan hasil bumi, sementara tenaganya diperas sebagai pembantu tentara (heiho) dan romusha. Ketika negara kita sudah merdeka pun, nasib petani tetap saja menyedihkan. Di era pemerintahan Presiden Soekarno, nasib petani tetap saja terabaikan. Inflasi tinggi hingga hampir lima ratus persen, disusul kemudian dengan devaluasi mata uang rupiah dan seringnya pergantian kabinet menyebabkan nasib petani semakin terpuruk.
Disahkannya UU Pokok Agraria pada 1960 dan UU Pokok Bagi Hasil ternyata dalam implementasi sangat jauh dari harapan. Nasib petani benar-benar mengenaskan, apalagi ketika kemiskinan petani justru dijadikan lahan subur oleh Barisan Tani Indonesia (BTI) yang jadi onderbouw PKI. Akibatnya, pada saat peristiwa G 30 S/PKI meletus, petanilah yang paling banyak jadi korban. Nasib petani sedikit tercerahkan ketika awal orde baru berkuasa, pemerintah melalui program Bimas memberikan penyuluhan kepada petani untuk menerapkan cara-cara bertani yang lebih modern dengan introduksi benih unggul, teknologi baru, perbaikan cocok tanam, penggunaan pupuk dan pengendalian hama penyakit secara kimia-biologis, serta rehabilitasi lahan irigasi, atau yang lebih dikenal dengan Revolusi Hijau.
Hasilnya, Indonesia mampu mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Disamping itu, pemerintah juga berupaya memproteksi turunnya daya beli petani dengan beragam instrumen. Pemerintah selain memberikan subsidi pupuk dan bibit juga ada subsidi modal kerja berupa KUT. Ketika panen, pemerintah menjaga jatuhnya harga komoditi tani melalui instrumen harga dasar. Selama tigapuluh tahun lebih, kebijakan stabilisasi harga dasar (untuk beras, floor price) dan harga tertinggi (ceiling price). Didirikannya Bulog juga terbukti efektif bagi kepentingan petani. Bulog dengan perannya dalam sejumlah instrumen penting, seperti: 1) memonopoli pengadaan beras, gula, kedelai dan komoditi tani lain; 2) captive market beras untuk PNS dan TNI/ Polri; dan 3) dana KLBI berbunga murah, sehingga sepanjang tahun 1973-1997 harga gabah jatuh di bawah harga dasar hanya sebesar 4 persen.
Namun, keemasan petani tidak berlangsung lama. Pada tahun 1998 pemerintah meliberalisasi pasar pangan domestik sebagai salahsatu konsekuensi dengan program IMF. Akibatnya kesejahteraan petani kembali merosot. Insentif usaha tani tidak bisa mengembalikan kesejahteraan petani. Liberalisasi pasar telah mengakibatkan Indonesia kelebihan beras, jagung, gula pasir impor dengan harga sangat murah, baik karena dumping atau penyelundupan. Peran Bulog semakin berkurang karena kehendak program IMF, ia bukan lagi pelaku tunggal dalam pengadaan ekspor dan impor bahan pangan. Akibatnya harga hasil pertanian semakin merosot. Petani rugi besar. Satu-satunya instrumen pemerintah, yakni harga dasar juga tidak banyak membantu petani, karena alasan Bulog tidak kuat membeli komoditi petani. Dus, jatuhnya harga komoditi tani dibawah harga dasar pun sering terjadi.
Ekonomi petani semakin kritis ketika krisis ekonomi berlangsung. Meskipun sektor pertanian adalah satu-satunya sektor yang tumbuh positif ketika rupiah terdepresiasi, namun kesempatan itu hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang petani yang berorientasi ekspor. Sedangkan mayoritas petani, karena bekerja secara subsistem di sektor tanaman pangan tetap terbelenggu kenestapaan tiada akhir.
Pada awal tahun 2005, melalui Inpres No 2/ 2005 pemerintah menetapkan kebijakan baru dalam pertanian khususnya komoditi perberasan menggantikan Inpres no 9/ 2002. Dalam Inpres tersebut Presiden menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk Gabah Kering Panen (GKP) sebesar Rp 1.330 perkilo di penggilingan, naik sebesar Rp 100 dibandingkan harga dalam Inpres No 9/ 2002 (Rp 1.230/kg GKP). Namun kenaikan pendapatan petani menjadi tidak berarti, karena pada waktu hampir bersamaan pemerintah juga menaikkan harga BBM, yang diikuti dengan kelangkaan BBM dan naiknya sejumlah input pertanian seperti pupuk dan sewa traktor. Dan hal ini semakin menunjukkan bahwa kebijakan pertanian pemerintah belum bisa mengangkat nasib petani. Ekonomi petani masih saja krisis, bahkan semakin kritis.
- See more at: http://www.siperubahan.com/read/711/Pak-Tani-Itulah-Penolong-Negeri#sthash.P6KrLawn.dpuf
Pada zaman kerajaan dulu, petani dianggap sebagai tenaga kerja murah, bahkan gratis layaknya budak, juga sebagai objek pajak. Misalnya pada zaman Kerajaan Majapahit, di satu pihak raja membebaskan tanah milik komunitas agama dari pajak, pada saat yang sama memungut pajak dan menuntut kerja rodi kepada warga desa. Bagi para petani yang mengurangi produksi pertaniannya, disamakan dengan pencuri yang bisa dihukum mati.
Praktek itu berlangsung hingga masa penjajahan Belanda. Periode cultuurstelsel (tanam paksa) selama 1830-1870 adalah sisi lain lembaran hitam yang menghiasi sejarah kelam petani. Sistem tanam paksa menyebabkan kesengsaraan luar biasa pada rakyat (para petani) di Pulau Jawa. Demikian pula pada jaman Jepang, meskipun tidak lama, tapi deritanya mendalam. Petani dipaksa untuk menyerahkan hasil bumi, sementara tenaganya diperas sebagai pembantu tentara (heiho) dan romusha. Ketika negara kita sudah merdeka pun, nasib petani tetap saja menyedihkan. Di era pemerintahan Presiden Soekarno, nasib petani tetap saja terabaikan. Inflasi tinggi hingga hampir lima ratus persen, disusul kemudian dengan devaluasi mata uang rupiah dan seringnya pergantian kabinet menyebabkan nasib petani semakin terpuruk.
Disahkannya UU Pokok Agraria pada 1960 dan UU Pokok Bagi Hasil ternyata dalam implementasi sangat jauh dari harapan. Nasib petani benar-benar mengenaskan, apalagi ketika kemiskinan petani justru dijadikan lahan subur oleh Barisan Tani Indonesia (BTI) yang jadi onderbouw PKI. Akibatnya, pada saat peristiwa G 30 S/PKI meletus, petanilah yang paling banyak jadi korban. Nasib petani sedikit tercerahkan ketika awal orde baru berkuasa, pemerintah melalui program Bimas memberikan penyuluhan kepada petani untuk menerapkan cara-cara bertani yang lebih modern dengan introduksi benih unggul, teknologi baru, perbaikan cocok tanam, penggunaan pupuk dan pengendalian hama penyakit secara kimia-biologis, serta rehabilitasi lahan irigasi, atau yang lebih dikenal dengan Revolusi Hijau.
Hasilnya, Indonesia mampu mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Disamping itu, pemerintah juga berupaya memproteksi turunnya daya beli petani dengan beragam instrumen. Pemerintah selain memberikan subsidi pupuk dan bibit juga ada subsidi modal kerja berupa KUT. Ketika panen, pemerintah menjaga jatuhnya harga komoditi tani melalui instrumen harga dasar. Selama tigapuluh tahun lebih, kebijakan stabilisasi harga dasar (untuk beras, floor price) dan harga tertinggi (ceiling price). Didirikannya Bulog juga terbukti efektif bagi kepentingan petani. Bulog dengan perannya dalam sejumlah instrumen penting, seperti: 1) memonopoli pengadaan beras, gula, kedelai dan komoditi tani lain; 2) captive market beras untuk PNS dan TNI/ Polri; dan 3) dana KLBI berbunga murah, sehingga sepanjang tahun 1973-1997 harga gabah jatuh di bawah harga dasar hanya sebesar 4 persen.
Namun, keemasan petani tidak berlangsung lama. Pada tahun 1998 pemerintah meliberalisasi pasar pangan domestik sebagai salahsatu konsekuensi dengan program IMF. Akibatnya kesejahteraan petani kembali merosot. Insentif usaha tani tidak bisa mengembalikan kesejahteraan petani. Liberalisasi pasar telah mengakibatkan Indonesia kelebihan beras, jagung, gula pasir impor dengan harga sangat murah, baik karena dumping atau penyelundupan. Peran Bulog semakin berkurang karena kehendak program IMF, ia bukan lagi pelaku tunggal dalam pengadaan ekspor dan impor bahan pangan. Akibatnya harga hasil pertanian semakin merosot. Petani rugi besar. Satu-satunya instrumen pemerintah, yakni harga dasar juga tidak banyak membantu petani, karena alasan Bulog tidak kuat membeli komoditi petani. Dus, jatuhnya harga komoditi tani dibawah harga dasar pun sering terjadi.
Ekonomi petani semakin kritis ketika krisis ekonomi berlangsung. Meskipun sektor pertanian adalah satu-satunya sektor yang tumbuh positif ketika rupiah terdepresiasi, namun kesempatan itu hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang petani yang berorientasi ekspor. Sedangkan mayoritas petani, karena bekerja secara subsistem di sektor tanaman pangan tetap terbelenggu kenestapaan tiada akhir.
Pada awal tahun 2005, melalui Inpres No 2/ 2005 pemerintah menetapkan kebijakan baru dalam pertanian khususnya komoditi perberasan menggantikan Inpres no 9/ 2002. Dalam Inpres tersebut Presiden menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk Gabah Kering Panen (GKP) sebesar Rp 1.330 perkilo di penggilingan, naik sebesar Rp 100 dibandingkan harga dalam Inpres No 9/ 2002 (Rp 1.230/kg GKP). Namun kenaikan pendapatan petani menjadi tidak berarti, karena pada waktu hampir bersamaan pemerintah juga menaikkan harga BBM, yang diikuti dengan kelangkaan BBM dan naiknya sejumlah input pertanian seperti pupuk dan sewa traktor. Dan hal ini semakin menunjukkan bahwa kebijakan pertanian pemerintah belum bisa mengangkat nasib petani. Ekonomi petani masih saja krisis, bahkan semakin kritis.
- See more at: http://www.siperubahan.com/read/711/Pak-Tani-Itulah-Penolong-Negeri#sthash.P6KrLawn.dpuf
3. KESIMPULAN
Melihat dari berita tersebut saya
menyimpulkan bahwa Negara Indonesia saat ini belum mencapai swasembada pangan
dikarenakan masyarakat Indonesia belum sepenuhnya bisa menikmati kebutuhan pangan
mereka dari petani-petani Indonesia sendiri. Kegiatan impor akan kebutuhan
pangan masih dilakukan. Warga masyarakat lebih memilih barang impor tersebut
dikarenakan kualitasnya bagus dan harganya lebih terjangkau, hal ini membuat nasib
para petani Indonesia semakin buruk. Saran dari saya untuk bisa mencapai
swasembada pangan yaitu :
1.
Pendidikan akan pertanian untuk petani
2.
Pemerintah membuat UU untuk pertanian
3.
Pemerintah dapat memberi/memperluas lahan pertanian
untuk para petani
4.
Stop pengubahan lahan pertanian menjadi lahan
pemukiman/industri.
5.
Pemerintah mensubsidi petani sesuai dengan rencana yang
disusun, pemerintah harus tegas jika ada penyimpangan subsidi yang dibuat untuk
para petani.
6.
Pemerintah menangani kasus irigasi dengan baik.
7.
Pemerintah membatasi kegiatan impor.
4. DAFTAR PUSTAKA
http://www.siperubahan.com/read/711/Pak-Tani-Itulah-Penolong-Negeri